Globalisasi, Islam dan Perlawanan: Perspektif Mustapha Kamal Pasha
Modernisasi yang diboncengi kapitalisme – dalam semangat mencari untung, telah menempatkan berbagai negara dalam posisi yang kurang diuntungkan. Globalisasi sebagai “anak kandung dari keduanya” juga telah mengambil peran yang sama untuk mengeksploitasi negara-negara dunia ketiga. Kebangkitan dan perlawanan Islam terhadap Barat, merupakan dampak logis dari bentuk kolonialisasi yang dilakukan negara-negara itu. Mustapha Kamal menggambarkan bahwa kebangkitan Islam merupakan sebuah bentuk kesadaran diri, kesadaran kolektif, akan tatanan peradaban Islam yang selama ini “dijajah” oleh negara-negara Eropa. Selain itu, kebangkitan dan perlawanan Islam diyakini sebagai bentuk lanjut dari proses dekolonialisasi yang tidak berhasil. Namun demikian, menurut Mustapha bentuk resistensi Islam ini tidak merupakan sebuah bentuk representasi dari masyarakat Islam keseluruhan. Perlawanan Islam tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk gerakan politik dari beberapa kelompok “garis keras” dalam Islam yang ingin mempertahankan kemurnian nilai-nilai Islam dari terjangan atau pengaruh globalisasi. Globalisasi menurut kelompok ini sendiri, merupakan bentuk kolonial baru bagi Islam.
Walaupun demikian, globalisasi dapat juga dipahami sebagai sebuah ‘konsep’ yang menawarkan kebebasan – setidaknya kebebasan dalam hal menerima informasi, atau tidak berlebihan bila dikatakan informasi yang memang sengaja diseting oleh mereka yang memiliki kekuasaan besar, sebut saja Eropa dan Amerika. Dengan demikian menurut saya, di satu sisi didengungkan kebebasan, di sisi yang lain kebebasan itu dikontrol, atau disesuaikan dengan keinginan mereka yang berkuasa itu. Bila perlawanan Islam tersebut ada dalam koridor gerakan perlawanan yang ingin mempertahankan kemurnian nilai-nilai Islam, peradaban islam dan budaya islam, maka bagi saya, gerakan itu perlu didukung. Permasalahan akan muncul apabila gerakan perlawanan Islam itu kemudian mencederai nilai-nilai kemanusiaan – itu masalah.
Hal yang menarik dari bentuk resistensi Islam ini adalah, karena Islam belajar dari pengalaman. Atau, masyarakat Islam mempunyai memanfaatkan mempelajari dan memanfaatkan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Barat, lewat kebebasan yang ditawarkan oleh globalisasi. Dalam ruang gerak seperti itu, Islam mempunyai kemampuan luar biasa untuk kemudian melawan globalisasi yang dipromosikan dunia Barat tersebut. Jadi di sinilah letak kecerdasan masyarakat muslim, walaupun tujuan utama dari perlawanan ini mungkin belum berhasil.
Globalisasi yang menawarkan kebebasan, dan seolah-olah sebuah sistem dunia yang tanpa batas itu, saat ini harus kembali berhadapan dengan ketatnya sistem masyarakat Islam yang juga mendunia. Tatanan masyarakat Islam yang berdasar pada sistem masyarakat sipil, yang dalam Islam dikenal dengan masyarakat Madani yang “bersantun, beradab” merupakan bentuk perlawanan tersendiri bagi globalisasi yang menawarkan kebebasan yang kebablasan itu. Gombalisasi dunia barat dilawan dengan tatanan masyarakat Madani yang pada era Nabi Muhammad begitu terkenal sebagai bentuk tatanan masyarakat yang sempurna.
Permasalahannya, menurut saya gerakan perlawanan Islam tidak lagi merupakan sebuah gerakan murni dalam mengembalikan kejayaan Islam, yang terjadi saat ini adalah bahwa resistensi Islam sarat dengan kepentingan para aktor. Saat ini Islam berhadapan dengan struktur politik dan ekonomi globalisme dan modernisme yang telah mapan, sehingga tidak mudah bagi Islam untuk tampil sebagai counter kekuatan. Oleh karenanya berbagai gagasan tentang “negara Islam” dan “ekonomi Islam” misalnya, yang bersifat struktur kelembagaan sulit diwujudkan kalau umat Islam sendiri tidak mampu menawarkan konsep yang lebih baik dan sudah teruji dari yang ada saat ini. Kegagalan politik dan ekonomi di berbagai negara Islam ikut memperlemah kampanye konstruksi pemikiran politik dan ekonomi Islam sebagai alternatif pemecahan masalah global.
Kenyataannya, dalam konteks Indonesia, sudah ratusan tahun dunia Islam selalu mengandalkan kekuatan figur atau aktor sosial, namun belum berhasil membangun sebuah sistem dan kultur bernegara dan kehidupan ekonomi yang kuat dan sehat. Dunia pesantren adalah contoh karikatur miniatur dunia Islam, yang kekuatannya bertumpu pada figur kyai, bukan pada kekuatan struktur dan kultur yang rasional dan mapan. Dan juga dilihat dalam kehidupan bernegara yang selalu mengharapkan datangnya “ratu adil” untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Beruntung dengan ambruknya Suharto dan rejim Orde Baru yang kemudian muncul figur “ratu adil” presiden – sejak dari Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan SBY – yang ternyata prestasinya jauh dari yang diidealkan rakyat banyak, maka rakyat mulai berpikir rasional. Telah terjadi proses “demitologisasi” dan “demistifikasi” terhadap sosok pimpinan kharismatik, sebuah langka maju untuk membangun masyarakat yang lebih rasional. Bahwa persoalan bangsa tidak bisa diserahkan semuanya pada figur melainkan harus pada struktur dan kultur yang rasional dan sehat.
Pertanyaannya, bagaimana dengan gerakan perlawanan Islam yang dalam banyak hal lebih difokuskan pada keputusan atau suara figur? Bukankan miniatur masyarakat Islam itu sebenarnya ada pada masyarakat Indonesia, yang merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia? Jadi menurut saya, jika dalam konteks Indonesia saja perjuangan atau perlawanan Islam tidak berhasil, maka bagaimana mungkin dalam tataran dunia?. Walaupun demikian, bagi saya perlawanan Islam terhadap kebijakan negara-negara dalam wujud penolakan globalisasi yang merupakan wujud kolonialisasi baru, harus di dukung. Caranya negara harus membuat dan memperkuat regulasi yang berpihak atau mengutamakan kebutuhan dan aspirasi rakyatnya.