Archive for the ‘ Sosiologi Gender ’ Category

Ketimpangan dan Diskriminasi Perempuan dalam Masyarakat

I. Pendahuluan

Secara biologis antara laki laki dan perempuan memiliki perbedaan yang mendasar, bahwa perempuan disebut betina, karena melahirkan, menyusui dan mendapat menstruasi. Sebaliknya laki laki disebut jantan karena membuahi serta mimpi basa, hal ini merupakan sifat-sifat alami yang tidak dapat diganggu-gugat. Masalah akan muncul disaat kita telah mencampur adukan konstruksi sosial dan biologis kedalam hal kodrati dengan pandangan umum yang beranggapan bahwa seorang perempuan bersifat lembut, lebih emosional, mendidik dan mengasuh anak, serta laki laki yang bersifat keras, lebih rasional dan berjiwa pemimpin dilihat sebagai hal yang kodrati pula. Hal yang disebutkan itu bagi saya harus disebutkan sebagai kodrati untuk yang pertama dan konstruksi sosial bagi yang kedua.

Dengan perbedaan seperti itu dapat dikatakan bahwa ketika seseorang dilahirkan baik laki laki ataupun perempuan, sudah tersedia peran-peran yang harus dihadapi, peran itu tergantung dari hasil sosialisasi dari orang tua dan masyarakat sehingga ketika anak itu dewasa akan terlihat dengan jelas perbedaan daerah “kekuasaan”. Ketimpangan dan diskriminasi perempuan ini muncul dan diperkuat oleh dogma-dogma keagamaan yang menganggap hal itu sebagai yang bersifat alami. Sehingga agama yang dulunya kental dengan budaya patriarkhi, memainkan perannya dengan berpihak pada kaum laki laki. Hal ini memunculkan hegemoni dan dominasi agama dan kaum laki laki kepada perempuan yang mengakibatkan ketimpangan.

Kenyataan seperti itu berlaku sampai dengan saat ini, terlihat peran kaum perempuan sangat dibatasi baik dalam agama, keluarga, masyarakat maupun pembangunan. Anehnya masyarakat intelektual seakan meng-amin-kan hal itu, (walaupun saat ini telah terjadi banyak perdebatan) karena itulah saat ini agama harus berparan dalam mengembalikan pandangan itu dengan cara membuka diri untuk menerima perubahan, memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat dan sebisanya merekonstruksi dogma-dogma keagamaan yang mengikat perempuan serta dianggap sakral.

II.  Diskriminasi Terhadap Perempuan

Idiologi partiarkhi merupakan budaya yang sampai dengan saat ini diakui sangat kuat dalam kehidupan masyarakat. Kenyataannya idiologi ini bagaikan virus yang terus berkembang dalam mengikuti perkembangan jaman,  terikat dalam kapitalisme dan berubah wujut sesuai dengan perubahan. Sehingga sampai dengan saat ini dapat dikatakan masyarakat dalam perkembangannya “hanya berganti baju”dan memberikan definisi yang terindah untuk budaya patriarkhi ini. Pandangan patriarkhi ini telah menciptakan hegemoni laki laki terhadap perempuan yang dianggap hal biasa, sebab pada dasarnya laki laki diposisikan sebagai yang superior terhadap perempuan diberbagai sektor kehidupan baik domestik maupun publik.

Kenyataan itu telah memotivasi kaum feminis untuk bangkit dan memperdebatkan masalah ini, “karena pembagian kerja yang didasarkan atas masalah seksual telah menempatkan perempuan disektor domestik dan laki laki pada sektor publik, atau pembagian kerja yang menempakan perempuan pada rumah tangga untuk memasak dan mengurus anak telah membuat wanita tidak berkembang mereka menjadi kerdil seumur hidupnya karena dunianya yang serba terbatas, sementara laki laki berkecimpung di luar rumah dan dapat mengembangkan dirinya secara optimal[1]

Perjuangan kaum feminis untuk merombak pandangan agama dan masyarakat demi mencapai suatu kesetaraan dan menghilangkan diskriminasi, adalah untuk menuntut suatu pola hubungan yang lebih egaliter dengan tidak membedakan individu dari latar belakang seks, ras, agama dan kelas ekonomi. dalam suatu laporan penelitian oleh Muhadjin, dkk.[2] didapatkan bahwa tampaknya suara kaum perempuan (feminis) kurang keras gaungnya ditelinga laki laki, bahkan mungkin ditelinga kaum perempuan sendiri. Secara statistik mereka berpendapat bahwa lebih banyak perempuan yang tidak konsern terhadap kesetaraan gender dibandingkan dengan yang memperjuangkannya, kebanyakan mereka justru mengeksploitasi ketimpanga gender untuk mengejar tujuan sosial atau tujuan pribadi lain yang dianggap lebih penting.

Bila kenyataannya seperti itu dalam artian bahwa lebih banyak perempuan yang tidak konsern terhadap masalahnya sendiri apalagi kaum laki laki, sebab faktanya mengatakan bahwa sangat sedikit laki laki yang mempercayai adanya ketimpangan dan diskriminasi perempuan yang dapat diangkat sebagi isu sosial untuk diperhatikan. Bagi laki laki hal itu merupakan masalah biasa yang tidak perlu diperdebatkan, sebab sudah seharusnya demikian. Pandangan seperti ini bertumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan diterima begitu saja apalagi dalam masyarakat yang menganut sistem patrilineal.

2.1.    Perempuan Dalam Pandangan Agama

Di berbagai negara sekarang ini gerakan fundamentalis-keagamaan menampakan diri dalam banyak cara, kebanyakan merupakan perjuangan melawan institusi sekuler dan konstitusi-konstitusi yang menjaminnya. Model wacana yang berasal dari ide tradisional tentang moralitas keagamaan, keluarga, kelas dan perbedaan kelamin muncul kembali dalam panggung politik dan gerakan fundamentalis islam, bahhan dalam negara sekuler seperti Turki menyerukan kembali ketradisi lama tentang pemisahan bidang jenis kelamin dengan menekankan pada pakaian tradisional, pendidikan dan sebagainya[3].

            Dengan pemahaman seperti itu terlihat denga jelas betapa agama memandang perempuan sebagai orang yang tidak setara dengan laki laki. Masalah ini sangat berdampak pada perkembangan perempuan untuk memperjuangkan dari mereka. Agama terikat dengan dogma yang melarang hal itu karena bagi agama masalah itu merupakan hal yang sudah sewajarnya, sehingga ruang gerak dari kaum perempuan sangat dibatasi, agama berpihak pada kaum laki laki serta mendominasi perempuan. Masalah seperti ini bila dikaji dari sejarah perkembangan agama ternyata tidak dapat terlepas dari budaya patriarkhi, dimana bangsa yahudi yang mendominasi agama pada saat itu ternyata menganut sistem ini dan hal itu diterapkan dalam agama yang kemudian menganggap laki laki sebagai yang superior dan perempuan sebagai yang tersubordinasi.

Pandangan agama terhadap perempuan sangatlah diskriminatif yang kemudian dogma itu diterima dalam masyarakat umum dan mempengaruhi cara berpikir mereka. Bukan hanya laki laki namun perempuan turut terpengaruh dengan dogma-dogma tersebut karena pada saat itu laki laki  yang memegang kekuasaan. Akibat dirasakan hal tersebut adalah suci maka bila terjadi pelanggaran konsekwensinya adalah dosa bahkan tidak menutup kemungkinana akan dikucilkan dari lingkungannya sendiri.

Masyarakat atau manusia yang hidup didunia yang sudah dianggap moder (khususnya umat kristen) telah mengerti bahwa ayat-ayat dalam Alkitab itu tidak dapat diterjemahkan secara terpisa karena satu ayat dan ayat yang lain dalam bagian yang berbeda memiliki keterkaitan, namun apakah jaman dahulu hal itu dimengerti?. jawabannya tidak sebab ayat-ayat telah diinterpretasi secara sepihak yang digunakan sebagai “benteng” diri dan meracuni kehidupan dan pemahaman masyarakat kala itu dan kemudian lewat sosialisasi hal itu diterma sampai dengan saat ini.

Seperti yang terdapat dalam perjanjian baru, Paulus menulis “adapun perempuan itu hendaklah ia belajar dengan senyapnya, dan bersungguh-sungguh merendahkan diri. Tetapi aku tidak mengijinkan seorang perempuan mengajar atau memerintah atas laki laki melainkan hendaklah dia berdiam diri, karena Adam telah dijadikan dahulu, kemudian barulah Hawa maka bukanlah Adam yang terpedaya melainkan perempuan yang terpedaya sehingga termasuk kedalam kesusahan (I Timotus 2: 11 – 14). Agustinus (St. Agustine) dengan baik mewarisi para pendahulunya ketika dia menulis kepada seorang temannya “tak ada bedanya apakah terdapat dalam seorang istri atau seorang ibu, tetap saja itu adalah Hawa, si penggoda yang harus selalu kita waspadai pada setiap wanita… saya tidak mengerti apa gunanya wanita bagi pria, selain melahirkan bayi[4].

Selain itu berabad-abad kemudia Tomas Aquines (St. Tomas Aquinas) masih menganggap wanita sebagai sesuatu yang cacat baginya, menurut watak individual wanita itu cacat atau kurang sempurna dan salah dilahirkan, karena kekuatan aktif dalam benih laki laki cenderung untuk memproduksi sesuatu yang sama sempurnanya dalam bentuk laki laki, sehingga produksi seorang wanita datang dari sesuatu yang cacat dalam kekuatan aktifnya, atau dalam materi yang sakit atau bahkan dari pengaruh luar[5].

Pandangan seperti itu sulit dihilangkan dan terhapus dari memori masyarakat dalam waktu yang relatif cepat seperti membalikan telapak tangan, sebab hal itu sudah tersosialisasi dalam selang waktu yang cukup lama. Sehingga sudah tertanam bahkan mungkin telah menjadi motto dalam kehidupan kelompok masyarakat. Betapa tidak berprikemanusiaanya kita ketika hal itu turut diamini dan didukung. Bukan hanya ajaran kristen yang menjelaskan tentang hal itu namun dalam islam dan juga agama yang lain hal ini sangat ketat diatur, dalam islam diskriminasi itu terasa sampai saat ini dalam hal peribadatan. Dalam hal ini tidak pernah ada kebebasan bagi seorang wanita untuk memimpin dalam agama, di mesjid yang berperan adalah laki laki dan tidak ada tempat atau peluang bagi perempuan.

Bila kenyataannya adalah demikian maka agama mempunyai tanggungjawab moral untuk mengembalikan serta memulihkan kedudukan laki laki dan perempuan agar mencapai kesetaraan dan menghilangkan atau mempersempit diskriminasi yang berimplikasi kepada ketimpangan. Peran agama adalah untuk menjelaskan kembali kepada masyarakat luas bahwa doktrin-doktrin tersebut dibuat oleh manusia, bukan oleh Tuhan. Agama harus berperan sebagai lembaga sosial yang mensosialisasikan kembali apa yang selama ini diyakini dalam masyarakat “kebenaran” dikembalikan pada kondisi sebenarnya bahwa hal itu merupakan kesalahan tafsiran, untuk dapat menuju pada masyarakat dan agama yang kontekstual, maka tes harus dijelaskan dengan pendekatan konteks, karena perkembangan terjadi karena perubahan pemikiran.

Untuk memanusiakan manusia maka doktrin-doktrin keagamaan harus direkonstruksi bahkan jika dapat di dekonstruksi masalah ini merupakan tugas dari agama, sebab dogma keagamaan  hanya memperbudak umatnya untuk itu harus dicari alternatif lain yang dapat menjawab permasalahan usulan diatas mungkin lebih baik. Diskriminasi perempuan yang ada dalam setiap agama harus dilihat kembali untuk berusaha merumuskan dan memunculkan arti yang lain. hal ini yang telah dikatan oleh “parlemen agama-agama sedunia tahun 1993 di Chicago yang berhasil merumuskan suatu ajaran yang ada pada setiap tradis keagamaan yaitu apa yang engkau tidak inginkan orang lain lakukan kepadamu jangan lakukan pula bagi orang lain. berdasarkan itu terumuslah Etika Global[6], yang salah satu poinnya berbunyi “komitmen kepada budaya kesamaan hak dan kemitraan laki laki dan perempuan.

Lembaga agama harus memainkan peran itu untuk memberikan perubahan dalam masyarakat dan membayar hutang moral serta hutang sosial yang selama ini ditanamkan baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah “berakar” dan menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat. Memang akan terasa sangat berat atau dapat dikatakan tidak konsisten karena menentang apa yang selama ini telah ditanamkan, tapi tidak ada jalan lain untuk menghindar, jika tidak ingin menciptakan kesalahan yang lebih fatal yang pada akhirnya akan terjadi penolakan terhadap agama secara keseluruhan. Karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menggeser arti penting agama dalam kehidupan seperti yang dianut dalam teori sekularisasi.

2.2.    Realitas Perempuan Saat ini

Perlu dimengerti dan dipahami bahwa tatanan budaya patriarkhi dalam kehidupan masyarakat sudah sangat mapan. Hasil sosialisasi yang dilakukan beratus-ratus tahun yang lalu telah menghasilkan manusia yang bercirikan keegoisan, tidak memperdulikan lingkungan sekitar, merasa ketimpangan dan diskriminasi ini adalah suatu kebenaran, singkat kata kita bagaikan seekor kuda yang menggunakan kaca mata dan hanya dapat melihat lurus kedepan. Itulah realita kehidupan manusia hasil sosialisasi itu, pada saat ini, tidak hanya terbatas pada perempuan.

Hal yang sangat mendesak adalah bagaiman merombak konstriksi yang telah dibangun beratus bahkan beribu tahun itu, agar mendapat pengakuan kesetaraan gender. Masalah ini bagi saya harus diawali dari masing-masing pribadi yang kemudian didesak untuk dilaksanakan secara lembaga. Pertumbuhan dan pemahaman pribadi atas masalah ini diras penting, namun yang perlu diperhatikan adalah ada tidaknya kemauaan dari masing-masing pribadi karena sangat tergantung pada ada tidaknya keyakinan-keyakinan seperti “kita bertanggungjawab atas kebahagiaan kita sendiri; kita mempunyai pilihan atas cara mengalami diri kita sendiri, atau cara menghadapi hidup; kita mempunyai kekuasaan untuk mengubah cara kita bereaksi dalam batin[7]. Jika kita khususnya perempuan tidak mempertahankan prinsip-prinsip ini untuk diterapkan maka tidak akan ada perubahan.

Perkembangan diri dalam hal intelektual dimaksudkan untuk merubah paham-paham yang selama ini terus-menerus ditanamkan dan telah meracuni cara berpikir setiap orang. hal ini dianggap perlu karena selama ini ilmu pengetahuan turut berperan penting dalam pembentukan pemikiran bahwa perempuan adalah lebih rendah dari laki laki. Pemahman seperti ini sebenarnya hanya berputar pada dua teori besar yang kemudian menghasilkan pengikut yang mengembangkan teori itu dan menghasilakan teori sendiri. Kedua teori itu adalah Nature dan Nurturu[8]. Pengikut teori nature beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara laki laki dan wanita disebabkan oleh faktor-faktor biologis. Sedangkan pengikut teori nurture beranggapan bahwa perbedaan itu tercipta melalui proses belajar dari lingkungan. Itulah sebabnya harus dipahami sebagai yang kodrati dan yang konstruksi sosial.

Dari kedua teori besar itu muncul berbagai teori diantaranya Sigmund Freud dengan teori psikoanalisa[9] berpokok pada konsep penis envy (iri kepda kelamin laki laki) menurut teori ini pada saat seorang perempuan pertama kali melihat kelamin laki laki dia segerah menjadi sadar bahwa dia kekurangan sesuatu. Contoh lain adalah dari teori pertukaran menurut Curtis. Yang dimaksudkan disini adalah pertukaran sosial, karena pertukaran ekonomi kecil kemungkinan terjadi dalam keluarga. Dikeluarga teori pertukaran ini terjadi karena kebanyakan dari peran laki laki (suami) adalah di luar rumah maka dia mempunyai peluang yang besar untuk menerima pembagian sumberdaya dari masyarakat dan sekaligus kuasa atas sumberdaya[10] distribusi sumberdaya diantara anggota keluarga memungkinkan laki laki mempperoleh kuasa secara perorangan terhadap istri dan anak-anaknya. Kuasa itu makin lama makin besar karena terus menerus menambah “hutang sosial”. Karena itu Curtis menulis meskipun perempuan (istri) merupakan ratu rumah tangga, namun ironisnya ketidak setaraan gender terus terjadi.

Dari pemahaman teori diatas betapa kedudukan perempuan dalam masyarakat sangat memprihatinkan, perempuan sering tersubordinasikan, namun dilain sisi perempuan sebenarnya lebih terkenal dari laki laki. Lihatlah iklan-iklan yang ada di TV maupun surat-surat kabar, yang ditonjolkan pasti perempuan dan semua keperluan perempuan yang pribadi sekalipun dipertontonkan, bahkan tubuh dari seorang perempuan ditonjolkan untuk kepuasan publik, namun semua itu diterima secara wajar. Apakah ini yang diharapkan untuk mencapai kesetaraan antara laki laki dan perempuan atau kah masyarakat telah mengalami krisis moral? Sebab hal seperti itu adalah merupakan dampak kekuasaan laki laki terhadap perempuan, dimainkan dalam sistem kapitalisme dan patriarkhi yang diperindah dalam bentuk modern.

Hal lain yang menggambarkan realitas kehidupan perempuan saat ini adalah berkaitan dengan masalah kewarganegaraan penuh, yaitu kesamaan hak-hak sipil, ekonomi dan sosial dengan laki laki. Kenyataannya hal itu telah dicapai setidaknya pada level formal. Namun dalam banyak hal kesederajatan antara perempuan dan laki laki masih merupakan formalitas. Sebagai contoh laki laki biasanya tidak melakukan tugas kerumah tanggaan, perempuan mempertahankan wilaya mereka dengan gigih atas intervensi laki laki, walaupun kenyataanya wilaya domestik itu tidak dinilai sebagai pekerjaan, sebab selama ini yang dinilai sebagai pekerjaan adalah yang dapat menghasilkan keuntungan (Gaji).

Bagi emansipasi perempuan menjadi warga negara penuh konsekwensi modernisasi menjadi agak paradoks, rasionalisasi ekonomi dan pertumbuhan kapitalisme telah mendorong pemisahan produksi dari pekerjaan rumah tangga. Selain itu realitas kehidupan perempuan didalam agama juga sangat memprihatinkan. Seperti yang tertulis dalam Qur’an bahwa “laki laki lebih berkuasa dari wanita, karena sifat-sifat yang diberikan Tuhan kepada laki laki memang membuatnya lebih berkuasa”, ayat ayat dalam agama Hindu Manu menyatakan “pada masa anak-anak seorang wanita harus berada dibawah kekuasaan ayahnya, setelah remaja dibawah kekuasaan suaminya dan kalau suaminya meninggal dibawah anak laki lakinya” sedangkan menurut tulisan Khonghucu “lima kelemahan utama wanita adalah tidak berdisiplin, selalu tidak puas, suka memfitnah, suka cemburu dan bodoh… inilah ciri yang membuat mereka tidak dapat mempercayai diri sendiri dan selalu tuntuk pada suaminya[11].

Dengan pemahaman itu maka untuk mencapai partisipasi yang sejajar, tanpa ada diskriminasi maka kondisi ekonomi sosial harus di penuhi, tapi perubahan ini tidak sendirinya lantas mencukupi. Perubahan itu adalah bagian dari rencana sosial, hal itu berakar didalam kebudayaan dan harus dipertahankan dalam interaksi sosial. Jadi perempuan secara politis harus tetap aktif jika mereka ingin mempertahankan hak-hak yang telah mereka peroleh, dan bersama-sama masyarakat memperjuangkan hak-hak lainnya. Untuk itu perempuan memerlukan tujuan jangka panjang yang terkandung didalam cita-cita. Sebagaimana yang ditunjukan oleh Max Weber sebelumnya, apa yang terjadi pada level budaya dan idiologis dapat menjadi kepentingan yang krusial dalam perubahan peristiwa selanjutnya.

2.3.    Kerja dalam Pandangan Masyarakat

Dengan beberapa teori yang telah diuraikan pada bagian awal, dalam bagian ini saya  tertarik dengan masalah kerja. Jika harus dicermati lebih mendalam kerja adalah merupakan suatu aktifitas yang dilakukan oleh seorang individu. Namun sangat lain artinya ketiaka kita behadapan dengan persoalan perempuan dan laki laki atau masalah gender. Dalam pemahaman ini kerja memiliki arti atau definisi yang sangat berbeda.

Dalam pemahaman teori yang diwarnai dengan kentalnya budaya patriarki yang diboncengi kapitalisme perempuan yang terdiskriminasi dalam masyarakat dan agama, karena terjadi pembagian kerja secara seksual telah membuat suatu pemisahan mendasar antara tempat kerja perempuan dan laki laki kedua wilaya ini sangat berbeda yakni domestik dan publik[12] . pembagian wilaya kekuasaan seperti ini telah menimbulkan pro kontra antara kaum feminis dengan masyarakat yang menganggap hal itu adalah kebenaran.

Pada taraf ini masalah kerja di definisikan sebagai kegiatan atau aktifitas yang dapat memberikan penghasilan dalam hal ini Gaji berupa uang, diluar itu tidak dikatakan sebagai pekerjaan. Itulah sebabnya Curtis mengatakan walaupun permpuan (istri) dikatakan sebagai ratu rumah tangga namun hal itu tidak berarti dia (istri) berkuasa sebab laki laki atau suami yang bekerja di publik terus menerus menimbun “hutang sosial” keatasnya. Hal ini memiliki konsekwensi yang besar dalam artian pembayaran atas hutang sosial itu hanya dapat dilakukan dengan cara tetap memberikan kesetiaan kepada sang suami.

Pendefinisian kerja seperti itu dapat dikatakan sebagai sumber diskriminasi yang berujung pada ketimpangan. Masalah ini merupakan salah satu faktor yang membuat para feminis bangkit untuk menuntut kesetaraan karena apa yang dilakukan perempuan di wilayanya tidak dihargai. Pertanyaan kemudian apakah yang dilakukan oleh perempuan pada daerah domestik itu bukan merupakan suatu pekerjaan?. Jika begitu kenyataanya maka yang perlu untuk segerah dirubah adalah pendefinisian kembali tentang masalah kerja.

III.        Penutup

Masyarakat modern menentukan dirinya bersifat defensif disegala bidang, hal ini tidak lagi dilegitimasi dengan wacana image universal tentang kemajuan yang ditentukan oleh pencerahan Eropa. Kata kemajuan yang menciptakan sebuah alternatif bagi pendefinisian perempuan dan menentang sistem kekuasaan dan ketidaksamaan dunia paternalistik. Dewasa ini berbagai isu tentang perempuan, yang masih belum beranjak dari tradisi dan budaya tidak dipandang sebagai suatu dimensi yang penting dari modernisasi.

Perkembangan-perkembangan baru yang menunjuk modeernisasi dan perempuan yang memperoleh hak-haknya bukan merupakan akibat wajar yang penting. Tidak seharusnya diharapkan dari modernitas untuk memunculkan suatu transformasi total, didalam pengertian teologis, evolusionis, historis, tidak dapat dihindari, bagi setiap anggota gender perempuan. Hal itu seharusnya dilihat dari dimensi idiologisnya dan perempuan modern yang mandiri harus memperjuangkan hak-hak demokratis didalam semua lembaga masyarakat.


[1]  Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual sebuah pembahasan Sosiologis tentang peran wanita dalam masyarakat (Jakarta: PT Gramedia 1985)

[2]  Muhadijin dkk, Laporan Penelitian Menggugat Budaya Patriarkhi, yang dilakukan di Jawa Timur, keraton Solo dan Jogyakarta (Jogyakarta UGM, 2000)

[3]. Bryan Turner, Teori-teori Sosiologi Modernitas dan Posmodernitas (Jogyakarta Pustaka Pelajar Anggota IKAPI, 2000) 229

[4] Suherman Rosyidi, Wanita Dalam Doktrin Islam Yahudi dan Kristen. (Surabaya, Target Press, 2000) 13, 14

[5] Ibid. hal 14 – 15.

Pemikiran inilah yang kemudian mendorong munculnya teori Pertukaran, yang berkembang sampai dengan saat ini.

[6] John Titaley, Menuju Teologi Agama-Agama yang Kontekstual (Salatiga Fakultas Teologi UKSW, Press 2001) 11. Inti dari Etika Global adalah setiap manusia harus dilakukan secara manusiawi. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Rektor Pertama UKSW Bapak Noto didalam Pidato-pidatonya yakni Memanusiakan Manusia.

[7] Gershen Kaufman dan Lev Raphael, Dinamika Kuasa Melawan Rasa Malu dan Membangun Harga Diri (Jakarta , PT BPK Gunung Mulia, 1994) 33

[8] Arief Budiman. Ibid hal. 2

[9] Ibid . hal 8

[10]. Curtis beranggapan bahwa sumberdaya (kekayaan dan kuasa yang dimiliki oleh suatu keluarga diperoleh dari pembagian sumberdaya dalam masyarakat menurut struktur kuasa yang ada didalam masyarakat itu. Sumberdaya yang diperoleh itu seluruhnya dibagikan atau didistribusikan lagi bagi anggota keluarga jadi terdapat proses pembagian dan distribusi bertingkat

[11]. Deckard, dalam Arief Budiman. Ibid  hal 7, 8.

[12]. Lihat Arief Budiman. Ibid, tentang pembagian kerja secara suesual. Dan Bryan Turner, Ibid hal 229 – 270 tentang Perempuan Antara Fundamenlalisme dan Modernitas. Dan Perempuan antara Modernitas dan Posmodernitas.